Sunday, June 24, 2018

Pamrih Sumber Kepedihan


Kubuka kembali ocehan dasa warsa silam, dan beberapa curahan kawan di bumantara. Katamu, 'siapa yang dapat menggenggam pasir? Mencintai seharusnya tanpa pamrih.'


Haus pengakuan dan hasrat ingin dikenang olehmu menjadi impian kawan-kawan yang berempati padamu. Tentu saja kau kadang tak merasa nyaman, pun memuliakan kesendirian. Lagipula kau tak butuh belas kasihan. Seperti yang tertuang dalam tulisan seseorang. Sudahkah kau baca suratnya itu? Dirinya mengharap semesta memberkati matamu sekedar membesuk sebentar. Dirinya mengharap tanggap darimu. Dirinya bukan siapa-siapa, bukan manungsa yang kau kenal baik.

Namun, cahaya terlanjur kabur. Membutakan belas kasihmu yang memudar jauh sebelum kau mengenal ... aku yang bukan aku. Bumi menutup pintu serta merta memberi pagar pada dindingnya yang tinggi menjulang,  dengan tujuan, tiada yang dapat mengusik rapuh jiwanya.
Yang tiada bertuan, dan,
Yang masih kau sembunyikan. Maka, adapun tata ucap yang berkelindan dan keras kepala menyesakkan. Menuntut perhatian yang berakar dari hampa dan perih.



Siapa suruh percaya mencintai harus pamrih?
Cahaya pun tak pernah membalas jasa pada bumi dan hal-hal yang mengitarinya. 



@thea.senorita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...