Sebuah Cerpen : Pienso De Ti
Karya : Andria Septy
Tak pernah
sekali pun, aku memercayai cinta. Artinya, kuanggap bahwa cinta itu, hanya
omong kosong. Tampak jelas sekali, di sini, aku sebagai manusia yang terluka.
Padahal, aku sudah punya pemikiran seperti ini, sejak umur sembilan belas
tahun.
Kini
umurku telah masuk tiga puluh dua tahun, dan hijrah ke kota kecil Pienso untuk
mengajar di universitas setempat. Pikiran itu tak jua berubah sedikit pun. Kadang-kadang
aku heran sendiri. Pikiran begitu sangat lama mengendap di lubuk hatiku
terdalam.
Abuelo (Kakek) bolak-balik mempersoalkan
status bujangku.
“Tariq
baru diangkat jadi dosen dua tahun lalu, jadi masih bisa dibilang muda, Abu.”
“Cepatlah
kamu cari pasangan, Abu sudah renta.
Ingin sekali menimang cicit.”
“Anaknya
Aida sama aja, Abu.”
“Siapa
yang akan merawatmu saat tua nanti? Keponakanmu Sierra, akan merawat Aida
sendiri. Bakal kerepotan Sierra, harus merawat pamannya juga.”
“Iya,
nanti Tariq cari wanita yang manis di kota Pienso, Abuelo.”
“Kemarin,
waktu kamu kuliah S2 juga berkata seperti itu. Sekarang, mana
buktinya?”
“Sabarlah,
Abu.”
“Jangan
menjadi lelaki kaku. Lemah lembut sedikit sama wanita.” kata Abuelo seperti
biasa memberi ceramah setiap kali pulang kampung. Ia masih produktif jualan
susu kedelai di usia senjanya. Tinggal lah Abuelo seorang, yang menjadi sesepuh
di keluarga kami. Solano bersaudara, itulah nama merk susu kedelai yang kami
jual dari pasar ke pasar. Lewat usaha susu kedelai akhirnya, bisa menyekolahkanku
sampai S2.
Dari sini
aku bisa tahu arti cinta sejati yang sesungguhnya. Abuelo adalah cinta Agape
sekaligus cinta Philia-ku. Namun, jikalau cinta tersebut disalurkan melalui
Cinta Eros atau Cinta Amor, seperti yang kukatakan di atas, adalah bualan
semata.
Lalu,
ketika langit di bumi Pienso penuh kembang api seorang sahabat melamar
kekasihnya di tepi laut, aku menjadi sedemikian kesepian. Apalagi, waktu buat
sekedar nongkrong menjadi tersita karena persiapan pernikahannya. Begitu seterusnya sampai rekan kerja sudah
pada menikah semua. Artinya, hanya aku yang masih membujang. Bahkan disuruh
menjalani kencan buta dengan seorang mahasiswi pun telah kulakukan. Tak jua
membuatku merasakan Chemistry yang
seharusnya ada antara pria dan wanita. Sampai-sampai aku kepikiran hal yang
bukan-bukan. Jangan-jangan aku Gay? Begitu spekulasi awal mengenai diri ini.
Seorang rekan kerja membesarkan hatiku, “Barangkali jodohmu masih memperbaiki
dirinya untuk bertemu denganmu.”
Dan ucapan itu ampuh sekali menghiburku.
Partner kerjaku belum tahu saja kalau aku hopeless
banget dengan yang namanya cinta. Tidak usah lihat latar belakang pendidikanku,
apalagi mengulik masa laluku yang adalah seorang yatim piatu. Tetapi lihat lah
seorang Tariq Solano yang sesungguhnya.
Aku
kembali ke hiburanku sebelumnya, yakni berjogging ria. Tentu saja sendirian. Seminggu
aku tak lari sore di Balai Kota. Alasannya karena capek, malas, gerimis dan
sederet kata tak penting lainnya. Padahal, perutku kian membuncit karena lemak.
Tiba-tiba sore yang mendung dan tak hujan ini, aku malah Jogging. Rupanya,
memang suatu pertanda. Otak dan kakiku tak sinkron ketika bertemu gadis imut
itu. Dia hanya tertawa geli melihat sebelah kakiku masuk selokan. Dia bukan
gadis cantik. Berwajah keibuan pun tidak.
Kami
berpapasan di tikungan Balai Kota dan saling bertatapan sebentar, tanpa senyuman.
Maksudku, gadis itu tidak senyum, padahal ia tadi menertawakanku terpingkal-pingkal.
Namanya Luna Celia. Teman jogging di
sampingnya memanggilnya seperti itu. Mereka membahas tentang novel Orhan Pamuk
yang begitu susah dimengerti. Aku hanya menguping pembicaraan mereka dari
belakang. Berpura-pura mendengarkan musik lewat headset. Padahal, aku tak
menyetelkan musik apa pun.
Sepanjang
jalan menuju rumah, Luna Celia memenuhi otakku. Tak henti-hentinya merangkai
senyumannya sampai ke alam mimpi. Tergila-gila pada logat bahasa daerahnya yang
seperti lagu melayu. Meskipun setengah dariku berdarah Amerika Latin, aku pun punya darah melayu sama seperti gadis itu.
Tariq... apa kau baik-baik saja? Sudah percaya cinta rupanya kau!
Aku baru sempat
memperkenalkan diri di pertemuan ke empat. Di tempat yang sama persis, ketika kakiku
terperosok ke selokan. Aku melihat Aida- adikku pada diri Luna Celia. Hatiku bergejolak
aneh ketika melihat wajah dinginnya. Seolah-olah itu wajahku ketika remaja.
Tercipta rasa heroik ketika kugenggam tangannya. Matanya adalah mataku.
Bibirnya adalah bibirku. Senyumannya seperti bunga yang bermekaran di musim semi.
Kini berani kukatakan, kau lah penghapus rasa sepi dan laraku. Kulapangkan hatiku
untuk pintu hatimu yang masih terbungkus lapisan baja. Luna Celia... usah kau berlama-lama merenungi hatimu
yang terluka. Hati kita sama-sama patah. Meskipun, aku tak tahu hatiku patah karena
apa.
SELESAI
22/02/2017