Wednesday, February 22, 2017

Pienso De Ti

Sebuah Cerpen : Pienso De Ti
Karya : Andria Septy 
    



      Tak pernah sekali pun, aku memercayai cinta. Artinya, kuanggap bahwa cinta itu, hanya omong kosong. Tampak jelas sekali, di sini, aku sebagai manusia yang terluka. Padahal, aku sudah punya pemikiran seperti ini, sejak umur sembilan belas tahun.
          Kini umurku telah masuk tiga puluh dua tahun, dan hijrah ke kota kecil Pienso untuk mengajar di universitas setempat. Pikiran itu tak jua berubah sedikit pun. Kadang-kadang aku heran sendiri. Pikiran begitu sangat lama mengendap di lubuk hatiku terdalam.
          Abuelo (Kakek) bolak-balik mempersoalkan status bujangku.
          “Tariq baru diangkat jadi dosen dua tahun lalu, jadi masih bisa dibilang muda, Abu.”
          “Cepatlah kamu cari pasangan, Abu sudah renta. Ingin sekali menimang cicit.”
          “Anaknya Aida sama aja, Abu.”
          “Siapa yang akan merawatmu saat tua nanti? Keponakanmu Sierra, akan merawat Aida sendiri. Bakal kerepotan Sierra, harus merawat pamannya juga.”
          “Iya, nanti Tariq cari wanita yang manis di kota Pienso, Abuelo.”
          “Kemarin, waktu kamu kuliah S2 juga berkata seperti itu. Sekarang, mana
buktinya?”
          “Sabarlah, Abu.
          “Jangan menjadi lelaki kaku. Lemah lembut sedikit sama wanita.” kata Abuelo seperti biasa memberi ceramah setiap kali pulang kampung. Ia masih produktif jualan susu kedelai di usia senjanya. Tinggal lah Abuelo seorang, yang menjadi sesepuh di keluarga kami. Solano bersaudara, itulah nama merk susu kedelai yang kami jual dari pasar ke pasar. Lewat usaha susu kedelai akhirnya, bisa menyekolahkanku sampai S2.
          Dari sini aku bisa tahu arti cinta sejati yang sesungguhnya. Abuelo adalah cinta Agape sekaligus cinta Philia-ku. Namun, jikalau cinta tersebut disalurkan melalui Cinta Eros atau Cinta Amor, seperti yang kukatakan di atas, adalah bualan semata.
            Lalu, ketika langit di bumi Pienso penuh kembang api seorang sahabat melamar kekasihnya di tepi laut, aku menjadi sedemikian kesepian. Apalagi, waktu buat sekedar nongkrong menjadi tersita karena persiapan pernikahannya.  Begitu seterusnya sampai rekan kerja sudah pada menikah semua. Artinya, hanya aku yang masih membujang. Bahkan disuruh menjalani kencan buta dengan seorang mahasiswi pun telah kulakukan. Tak jua membuatku merasakan Chemistry yang seharusnya ada antara pria dan wanita. Sampai-sampai aku kepikiran hal yang bukan-bukan. Jangan-jangan aku Gay? Begitu spekulasi awal mengenai diri ini. Seorang rekan kerja membesarkan hatiku, “Barangkali jodohmu masih memperbaiki dirinya untuk bertemu denganmu.”
           Dan ucapan itu ampuh sekali menghiburku. Partner kerjaku belum tahu saja kalau aku hopeless banget dengan yang namanya cinta. Tidak usah lihat latar belakang pendidikanku, apalagi mengulik masa laluku yang adalah seorang yatim piatu. Tetapi lihat lah seorang Tariq Solano yang sesungguhnya.
         
          Aku kembali ke hiburanku sebelumnya, yakni berjogging ria. Tentu saja sendirian. Seminggu aku tak lari sore di Balai Kota. Alasannya karena capek, malas, gerimis dan sederet kata tak penting lainnya. Padahal, perutku kian membuncit karena lemak. Tiba-tiba sore yang mendung dan tak hujan ini, aku malah Jogging. Rupanya, memang suatu pertanda. Otak dan kakiku tak sinkron ketika bertemu gadis imut itu. Dia hanya tertawa geli melihat sebelah kakiku masuk selokan. Dia bukan gadis cantik. Berwajah keibuan pun tidak.
          Kami berpapasan di tikungan Balai Kota dan saling bertatapan sebentar, tanpa senyuman. Maksudku, gadis itu tidak senyum, padahal ia tadi menertawakanku terpingkal-pingkal.
           Namanya Luna Celia. Teman jogging di sampingnya memanggilnya seperti itu. Mereka membahas tentang novel Orhan Pamuk yang begitu susah dimengerti. Aku hanya menguping pembicaraan mereka dari belakang. Berpura-pura mendengarkan musik lewat headset. Padahal, aku tak menyetelkan musik apa pun.  
          Sepanjang jalan menuju rumah, Luna Celia memenuhi otakku. Tak henti-hentinya merangkai senyumannya sampai ke alam mimpi. Tergila-gila pada logat bahasa daerahnya yang seperti lagu melayu. Meskipun setengah dariku berdarah Amerika Latin,  aku pun punya darah melayu sama seperti gadis itu. Tariq... apa kau baik-baik saja? Sudah percaya cinta rupanya kau!
          Aku baru sempat memperkenalkan diri di pertemuan ke empat. Di tempat yang sama persis, ketika kakiku terperosok ke selokan. Aku melihat Aida- adikku pada diri Luna Celia. Hatiku bergejolak aneh ketika melihat wajah dinginnya. Seolah-olah itu wajahku ketika remaja. Tercipta rasa heroik ketika kugenggam tangannya. Matanya adalah mataku. Bibirnya adalah bibirku. Senyumannya seperti bunga yang bermekaran di musim semi. Kini berani kukatakan, kau lah penghapus rasa sepi dan laraku. Kulapangkan hatiku untuk pintu hatimu yang masih terbungkus lapisan baja.  Luna Celia... usah kau berlama-lama merenungi hatimu yang terluka. Hati kita sama-sama patah. Meskipun, aku tak tahu hatiku patah karena apa.

           
SELESAI
22/02/2017 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...